MAKALAH TEORI ATRIBUSI DALAM PEMBELAJARAN
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat
Allah SWT. Atas limpahan rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Teori
Atribusi dalam Pembelajaran” ini dengan sebaik – baiknya.
Dalam menyelesaikan tugas akhir ini, penulis telah
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini
penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1.
Bapak
Agus Wedi selaku Dosen mata kuliah Teori Pembelajaran
2.
Teman
– teman yang telah memberikan dukungan dan semangatnya.
Usaha yang maksimal telah diupayakan dengan penuh rasa
tanggung jawab bahwa tugas akhir ini terasa jauh dari kesempurnaan, namun
setidaknya dapat menambah wawasan dan dapat menanggulangi pokok permasalahan
yang ada. Oleh karena itu saran dan kritik serta masukan dari berbagai pihak
sangat penulis harapkan. Sehingga dapat disempurnakan pada waktu yang akan
datang.
Malang, 1 Februari 2017
Penulis
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar..................................................................................................................... ii
Daftar
Isi.............................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................................ 2
1.3. Tujuan............................................................................................................. 2
BAB
II PEMBAHASAN
2.1. Pengembangan Kurikulum PAI......................................................................... 3
2.2. Perang Guru dalam Pengembangan Kurikulum PAI........................................... 6
BAB
II PENUTUP
3.1. Kesimpulan...................................................................................................... 10
3.2. Saran............................................................................................................... 10
Daftar
Pustaka...................................................................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Dalam
kehidupan sehari-hari, setiap orang seringkali bertanya mengapa orang lain
(atau dirinya sendiri) menunjukkan suatu perilaku tertentu.
Pertanyaan-pertanyaan berikut ini mencerminkan beberapa hal yang ingin dijawab
oleh teori atribusi: (1) Mengapa orang lain (dirinya) berhasil/gagal mencapai
sesuatu? (2) Mengapa dia (saya) mau melakukan perbuatan
luhur itu? (3) Mengapa dia (saya) tega
melakukan perbuatan buruk itu?.
Faktor-faktor penyebab dari perbuatan seperti dicontohkan
pada pertanyaan pertanyaan diatas, ingin dijawab oleh teori atribusi. Karena
itu teori atribusi adalah teori tentang bagaimana manusia menerangkan perilaku
orang lain maupun perilakunya sendiri dan akibat dari perilakunya yang
dipertanyakan, misalnya: sifat-sifat, motif, sikap, dsb. Faktor-faktor situasi eksternal. Untuk memberikan
penjelasan/penerangan terhadap suatu perilaku atau suatu akibat perilaku itu,
biasanya tidak hanya dilihat perilakunya. Tetapi dilihat juga: masa lalu dari
orang yang menunjukkan perilaku itu, motivasinya, situasinya, dsb.
Beragam teori dan pendapat dari tokoh psikologi yang
mengamati kondisi jiwa manusia terhadap respon yang diterima dan diamati
kemudian tersimpulkan pada sebuah aksi dan diwujudkan dalam proses belajar.
Salah satu teori yang digunakan dalam proses belajar adalah teori atribusi yang
diharapkan dapat menjelaskan penyebab dari suatu kejadian.
Memahami sebuah kondisi emosional atau kejiwaan seseorang
dapat bermanfaat dalam beberapa hal. Akan tetapi hal ini hanya langkah pertama
dalam pembahasan psikologi. Biasanya kita ingin memahami hal tersebut lebih
jauh agar dapat mengetahui sifat-sifat individu yang bersifat tetap dan
mengetahui penyebab di balik perilaku mereka.
Berdasarkan
hal tersebut, sebagai bentuk upaya untuk memberikan pemahaman lebih lanjut
mengenai teori atribusi terutama peran pentingnya dalam pembelajaran, maka
disusunlah makalah dengan judul “Teori
Atribusi dalam Pembelajaran”.
1.2.
Rumusan Masalah
Adapun
beberapa rumusan masalah dalam makalah ini diantaranya :
1.2.1. Apakah pengertian Teori Atribusi?
1.2.2. Apa saja kesalahan atau bias dalam atribusi?
1.2.3. Bagaimana ruang lingkup dan aplikasi teori atribusi?
1.2.4. Bagaimana pengertian Locus of
Control dalam teori atribusi?
1.2.5.
Bagaimana guru menerapkan teori
atribusi dalam pembelajaran?
1.3.
Tujuan
Adapun
beberapa tujuan dalam makalah ini diantaranya :
1.3.1. Mendeskripsikan pengertian teori
atribusi
1.3.2. Menjelaskan kesalahan atau bias dalam atribusi
1.3.3. Mendeskripsikan ruang lingkup dan aplikasi teori atribusi
1.3.4. Mendeskripsikan Locus of Control
dalam teori atribusi
1.3.5.
Mendeskripsikan peran guru untuk menerapkan
teori atribusi dalam pembelajaran
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Teori Atribusi
Atribusi adalah
sebuah teori yang membahas tentang upaya-upaya yang dilakukan untuk memahami
penyebab-penyebab perilaku kita dan orang lain. Definisi formalnya, atribusi
berarti upaya untuk memahami penyebab di balik perilaku orang lain, dan dalam
beberapa kasus juga penyebab di balik perilaku kita sendiri
Teori atribusi
bermula dengan gagasan Fritz Heider bahwa setiap individu
mencoba untuk memahami perilaku mereka sendiri dan orang lain dengan mengamati
bagaimana sesungguhnya setiap individu berperilaku. Penyebab situasional
(dipengaruhi oleh lingkungan), pengaruh pribadi (mempengaruhi secara pribadi),
kemampuan (dapat melakukan sesuatu), usaha (mencoba melakukan sesuatu), hasrat
(keinginan untuk melakukannya), perasaan (merasa menyukainya), keterlibatan
(setuju dengan sesuatu), kewajiban (merasa harus), dan perizinan (telah
diizinkan).
Brant Burleson menguatkan
teori Atribusi yang sudah ada yaitu mengenai interprestasi persuasif yang
menghasilkan sebuah persepsi. Teori
atribusi yang lain yang dikemukakan oleh Kelley & Micella, 1980 yaitu
teori atribusi internal dan ekstenal, teori yang berfokus pada akal sehat.
Sementara menurut Weiner
atribusi adalah teori kontemporer yang paling berpengaruh dengan implikasi
untuk motivasi akademik. Hal ini dapat diartikan bahwa teori ini mencakup
modifikasi perilaku dalam arti bahwa ia menekankan gagasan bahwa peserta didik
sangat termotivasi dengan hasil yang menyenangkan untuk dapat merasa baik
tentang diri mereka sendiri.
Teori yang dikembangkan oleh Bernard Weiner ini merupakan gabungan
dari dua bidang minat utama dalam teori psikologi yakni motivasi dan penelitian
atribusi. Teori yang diawali dengan motivasi, seperti halnya teori belajar
dikembangkan terutama dari pandangan stimulus-respons yang cukup popular dari
pertengahan 1930-an sampai 1950-an.
Menurut Weiner, faktor
paling penting yang mempengaruhi atribusi ada empat factor yakni antara lain :
1. Ability yakni kemampuan, adalah factor internal dan
relative stabil dimana peserta didik tidak banyak latihan control langsung.
2. Task difficulty yakni kesulitan tugas dan stabil
merupakan factor eksternal yang sebgaian besar di luar pembelajaran control.
3. Effort yakni upaya, adalah factor internal dan tidak
stabil dimana peserta didik dapat latihan banyak control.
4. Luck yakni factor eksternal dan tidak stabil dimana
peserta didik latihan control sangat kecil.
Teori aribusi juga
dapat digunakan untuk menganalisis keberhasilan dan kegagalan seseorang. Menurut Weiner untuk menganalisis
keberhasilan dan kegagalan seseorang didasarkan pada dua dimensi yaitu Locus of Control (LC internal-eksternal)
maksudnya suatu keberhasilan ayau
kegagalan seseorang dapat disebabkan oleh dua factor internal atau eksternal
dan dimensi stabilitas penyebab maksudnya bahwa apakah kegagalan atau
keberhasilan seseorang disebabkan oleh factor-faktor yang bersifat stabil
atau factor yang tidak stabil.
Kestabilan
(locus of CTRL)
|
Tidak stabil
(Temporer)
|
Stabil
(Permanen)
|
Internal
|
Usaha,mood,kelelahan
|
Bakat, kecerdasan, karakteristik
fisik
|
Eksternal
|
Nasib, ketidaksengajaan,
kesempatan
|
Tingkat kesukaran Tugas
|
Sebenarnya istilah
atribusi mengacu kepada penyebab suatu kejadian atau hasil menurut persepsi
individu. Dan yang menjadi pusat perhatian atau penekanan pada penelitian di
bidang ini adalah cara-cara bagaimana orang memberikan penjelasan sebab-sebab
kejadian dan implikasi dari penjelasan-penjelasan tersebut. Dengan kata lain,
teori itu berfokus pada bagaimana orang bisa sampai memperoleh jawaban atas
pertanyaan “mengapa”? (Kelly 1973).
Ada tiga teori yang
berkaitan erat dengan teori atribusi ini, yakni teori yang berkembang pada
bidang psikologi. Pertama teori yang dikembangkan oleh Naïve Psychology,
kedua Correspondent Inference yang menekankan pada pengkajian intentionality
(rencana atau tujuan tindakan seseorang) dan ketiga Covariation Model
yang mencoba menjelaskan tindakan seseorang dengan mengajukan pertanyaan
sekitar konsensus, konsitensi dan perbedaan (distinctiveness) serta
kemampuan untuk mengontrol (controllability).
o
Atribusi Sebagai Naïve Psychology
Teori ini dibahas
pada awalnya dalam psikologi yang disebut naïve psychology, suatu kajian
psikologi yang mencoba mendiskrifsi bagaimana masyakarat pada umumnya
bertindak. Menurut aliran ini tindakan kebanyakan orang berdasarkan pada
penilaian dan penyimpulan terhadap suatu tingkah-laku yang ada disekelilingnya
tanpa berpikir secara mendalam, sehingga menimbulkan pendapat umum tentang
tindakan tersebut. Yakni dengan mencoba menduga-duga penyebab dari suatu
tindakan dilakukan oleh seseorang dan langsung disimpulkan tanpa melalui proses
pengumpulan data dan analisis yang serius, hal ini diebut juga folk psychology.
Menurut Fritz Heider (1958) jika anda melihat
seseorang berbuat sesuatu, maka secara langsung anda membuat suatu penilaian
tentang apa yang menyebabkan orang tersebut melakukan hal itu. Dan penilaian
tersebut bisa terjadi dengan melihat faktor disposisional (dispositional) atau
faktor situasional. Disposisional adalah faktor internal dan individual seperti
kepribadian, karakter atau faktor biologis. Sedangkan situasional adalah faktor
external seperti lingkungan atau keadaan.
Berkomunikasi
dengan pendekatan attribution berarti orang tersebut akan menyampaikan pesan
kepada lawan komunikasinya dengan bersandarkan pada hasil penilaiannya
(persepsinya) terhadap tingkah-laku lawan bicaranya.
Kita
mengatribusi suatu tindakan disebabkan daya personal, hanya jika orang
yang kita persepsi tersebut mempunyai kemampuan untuk bertindak, berniat untuk
melakukan dan berusaha untuk menyelesaikan tindakannya. Jika demikian, kita
beranggapan bahwa atribusi tersebut berhubungan dengan sifatnya, sehingga dapat
kita gunakan untukmeramalkan tindakan-tindakan di masa yang akan dating. Disisi
lain, jika kita mengatribusi sebagai daya lingkungan, hal ini tidak ada hubungannya
dengan sifat orang yang kita persepsi, sehingga tidak dapat digunakan untuk
meramalkan tindakan-tindakan di msa yang akan datang.
o
Teori Correspondent Inference
Masih tentang
atribusi (menyifati atau menialai tingkah laku seseorang) Edward E. Jones and Keith
Davis (1965) mengajukan teori Correspondent Inference, menurutnya ketika
seseorang menilai tingkah laku orang lain (actor) sebagai akibat dari
faktor disposisi (dorongan internal dirinya) maka sebenarnya telah menilai
rencana (intention) apa yang ada pada diri orang tersebut sebagai
kesimpulan yang selaras dengan tingkah laku sang aktor.
Tapi untuk
menentukan rencana apa yang terkandung dalam diri seseorang untuk melakukan
suatu tindakan bukanlah hal yang mudah. Menentukan apakah si A melakukan
tindakan B karena tujuan Z. Ada beberapa faktor sebagai bahan pertimbangan
dalam menentukan penilaian terhadap rencana (intention) prilaku sang
pelaku: Seperti pilihan (choice) mengapa si pelaku melakukan itu?
Kemudian kebutuhan sosial pelaku (sosial desirability), aturan sosial (sosial
role), gambaran sebelumnya tentang pelaku (prior expectation) atau
pengetahuan tentang latar belakangnya, kesenangan (hedonic relevance)
dan atau gambaran tentang sifat pribadi pelaku (personalisme).
Mempertimbangkan enam hal tersebut bisa membantu dalam menilai rencana tindakan
sang aktor, tapi terlalu bersandar pada sebagian hal tersebut bisa juga
melahirkan bias dalam penilaian dimensi internal (disposition) prilaku
sang actor.
o
Covariation Model
Teori lain
berkenaan dengan atribusi dikemukakan oleh Kelley (1967) yang mencoba
menjelaskan penilaian terhadap alasan (cause) tingkah laku seseorang dengan
lebih luas dibanding dengan apa yang diajukan Jones yang hanya menitik beratkan
pada intentionality.
Teori Harold Kelley
merupakan perkembangan dari Heider. Focus teori ini, apakah tindakan tertentu
disebabkan oleh daya-daya internal atau daya-daya eksternal. Kelley
berpandangan bahwa suatu tindakan merupakan suatu akibat atau efek yang terjadi
Karena adanya sebab. Oleh karena itu, Kelley mengajukan suatu cara untuk
mengetahui ada atau tidaknya hal-hal yang menunjuk pada penyebab tindakan,
apakaha daya internal atau daya eksternal. Kelley mengajukan tiga factor dasar
yang dapat digunakan untuk memutuskan hal tersebut, yaitu:
o
Konsensus
yaitu bagaimana seseorang bereaksi bila dibandingkan dengan orang-orang lain
terhadap stimulus tertentu. Misalnya bila seorang mahasiswa melakukan perilaku
tertentu sedangkan mahasiswa lain tidak melakukan hal yang sama maka dapat
dikatakan bahwa consensus mahasiswa tersebut rendah.
o
Konsistensi yaitu bagaimana sesorang bereaksi terhadap stimulus yang sma
dalam situasi dan keadaan yang berbeda. Misalnya seorang mahasiswa tidur saat
kuliah dosen x dan berperilaku sama pada dosen yang lain maka mahasiswa tersebut
dikatakan mempunyai konsistensi yang tinggi.
o
Kekhasan yaitu bagaimana seseorang bereaksi terhadap stimulus atau situasi
yang berbeda-beda, misalnya seorang mahasiswa yang tidur saat kuliah dosen x,
tetapi pada dosen-dosen yang lain dia tidak tidur, maka dapat dikatakan bahwa
mahasiswa tersebut mempunyai kekhasan yang tinggi.
Secara singkat
dapat digambarkan untuk menentukan atribusi atas prilaku seseorang dengan model
Kelley adalah sebagai berikut:
o
Jika konsensus tinggi + konsistensi tinggi + distingtif tinggi = atribut
eksternal (situasional)
o
Jika konsensus tinggi + konsistensi rendah + distingtif tinggi=
atribut eksternal (situasional).
o
Jika konsensus tinggi + konsistensi rendah + distingtif rendah=
atribut internal (disposisional)Jika konsensus rendah + konsistensi tinggi +
distingtif rendah= atribusi internal (disposisional)
2.2.
Kesalahan atau Bias dalam Atribusi
Dalam atribusi
tidak selamanya memberikan keberhasilan menginterpretasi perilaku seseorang.
Hal ini karena dalam atribusi sering terjadi kesalahan atau bias. Ada beberapa
bias dalam atribusi yaitu sebagai berikut:
o
Bias fundamental atribusi, yaitu bias yang terjadi bila pengamat dalam memberi
atribusi pada pelaku lebih menekankan factor eksposisi/internal dari pelaku dan
factor situasi dikesampingkan misalnya mahasiswa yanhg bernama A gaduh dikelas,
pengamat menganggap bahwa A mencari perhatian dan tidak dilihat dari situasi
mengapa si a gaduh.
o
Bias self serving, yitu bias yang terjadi karena pada setiap orang terdapat kecenderungan
uum untuk menghindari celaan karena kesalahannya, misalnya: mahasiswa A
mendapat nilai E untuk mata kuliah tertentu maka mahasiswa tersebut akan
mengatakan bahwa dosennya tidak becus mengajar atau killer.
o
Efek pelaku pengamat, yaitu bias yang terjadi karena hubungan antara pelaku
dan pengamat kurang baik, sehingga di dalam mengatribusi kegagalan mahasiswa
dalam ujian menurut dosen kegagalan dikarenakan mahasiswa tidak belajar,
sedangkan menurut mahasiswa dosennya tidak bisa mengajar.
o
Bias self blame, yaitu bias yang terjadi karena ada kecenderungan untuk menyalahkan
dirinya sendiri.
o
Hidonice relevance, yaitu bias yang terjadi karena pengamat sering kurag obyektif di dalam
memberikan penilaian terhadap peristiwa yang memyangkut dirinya dikaitkan
dengan kesenangan yaitu apakah sesuattu itu menguntungkan atau merugikan. Bila
menguntungkan maka atribusi positif sedangkan bila merugikan maka atribusi
negative.
o
Bias egocentris, yaitu bias yang terjadi karena ada anggapan bahwa orang lain akan berbuat
sperti dirinya atau sering juga dinyatakan secara umum mengukur perilaku
seseorang mendasarkan pada dirinya.
2.3.
Ruang
Lingkng dan Aplikasi Teori Atribusi
2.3.1.
Ruang
Lingkup Teori Atribusi
Atribusi Teori telah digunakan untuk menjelaskan perbedaan dalam motivasi
berprestasi antara tinggi dan rendah. Menurut teori atribusi, berprestasi
tinggi akan mendekati daripada menghindari tugas-tugas terkait untuk berhasil,
karena mereka percaya bahwa kesuksesan adalah karena kemampuan yang tinggi dan
usaha yang mereka yakin. Kegagalan dianggap disebabkan oleh nasib buruk atau
ujian yang miskin dan bukan kesalahan mereka. Jadi, kegagalan tidak
mempengaruhi harga diri mereka tetapi sukses membangun kebanggaan dan
kepercayaan diri.
Di sisi lain, berprestasi rendah menghindari tugas yang berhubungan dengan
keberhasilan karena mereka cenderung untuk (a) meragukan kemampuan mereka dan/
atau (b) menganggap kesuksesan adalah berkaitan dengan keberuntungan atau untuk
“siapa yang Anda tahu” atau faktor-faktor lain di luar kendali mereka. Jadi,
bahkan ketika sukses, adalah tidak bermanfaat untuk yang berprestasi rendah
karena dia/dia tidak merasa bertanggung jawab, tidak meningkatkan harganya dan
kepercayaan diri.
2.3.2.
Aplikasi
Teori Atribusi
o
Atribusi
dan Depresi
Depresi adalah gangguan psikologi
yang hampir dialami setiap manusia. Individu yang depresi cenderung mempunyai
pikiran yang bertentangan dengan bias mengutamakan diri sendiri. Kalau hasilnya
bagus, maka itu merupakan keberhasilan yang didapat dari intervensi orang lain.
Namun, jika kegagalan yang terjadi hal itu merupakan kesalahan mutlak dari
dirinya sendiri sehingga orang akan merasa bahwa dirinya tidak memiliki arti
dan akhirnya mudah menyerah dalam hidupnya.
o
Atribusi
dan Prasangka
Harga sosial yang mesti dibayar
ketika mempertanyakan diskriminasi. Misalnya seseorang pada ras minoritas tidak
menerima tidak diterima dalam pekerjaan, dia berprasangka bahwa tidak
diterimanya dia karena dia berasal dari minoritas. Tetapi, setelah
dipikir-pikir lagi, maka akan muncul bahwa dia memang tidak cocok dengan pekerjaan
itu dan dia hanya mengeluh saja, dan justru muncul pemikiran negatif kita
terhadap orang tersebut.
2.4.
Locus of Control dalam Teori Atribusi
Locus of Control
atau lokus pengendalian yang merupakan kendali individu atas pekerjaan mereka
dan kepercayaan mereka terhadap keberhasilan diri. Lokus pengendalian ini
terbagi menjadi dua yaitu lokus pengendalian internal yang mencirikan seseorang
memiliki keyakinan bahwa mereka bertanggung jawab atas perilaku kerja mereka di
organisasi. Lokus pengendalian eksternal yang mencirikan individu yang
mempercayai bahwa perilaku kerja dan keberhasilan tugas mereka lebih
dikarenakan faktor di luar diri yaitu organisasi.
Konsep tentang Locus
of Control (pusat kendali) pertama kali dikemukakan oleh Rotter (1966), seorang ahli teori
pembelajaran sosial. Locus of Control
merupakan salah satu variabel kepribadian (personility), yang didefinisikan
sebagai keyakinan individu terhadap mampu tidaknya mengontrol nasib (destiny)
sendiri (Kreitner dan Kinicki, 2005).
Robbins dan
Judge (2007) mendefinisikan lokus kendali sebagai tingkat dimana individu yakin
bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri. Internal adalah individu yang
yakin bahwa mereka merupakan pemegang kendali atas apa-apa pun yang terjadi
pada diri mereka, sedangkan eksternal adalah individu yang yakin bahwa apapun
yang terjadi pada diri mereka dikendalikan oleh kekuatan luar seperti
keberuntungan dan kesempatan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
Individu yang memiliki keyakinan bahwa nasib atau event-event dalam
kehidupannya berada dibawah kontrol dirinya, dikatakan individu tersebut
memiliki internal Locus of Control.
Sementara individu yang memiliki keyakinan bahwa lingkunganlah yang mempunyai
kontrol terhadap nasib atau event-event yang terjadi dalam kehidupannya
dikatakan individu tersebut memiliki external Locus of Control.
Kreitner & Kinichi (2005) mengatakan bahwa hasil yang
dicapai Locus of Control internal
dianggap berasal dari aktifitas dirinya. Sedangkan pada individu Locus of Control eksternal menganggap
bahwa keberhasilan yang dicapai dikontrol dari keadaan sekitarnya.
Seseorang yang mempunyai internal Locus of Control akan memandang dunia sebagai sesuatu yang dapat
diramalkan, dan perilaku individu turut berperan di dalamnya. Pada individu
yang mempunyai external Locus of Control
akan memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak dapat diramalkan, demikian juga
dalam mencapai tujuan sehingga perilaku individu tidak akan mempunyai peran di
dalamnya.
Definisi Locus of
Control menurut para ahli yang lain :
1.
Rotter
Locus of Control
menurut Rotter adalah suatu hal yang
dipastikan memberikan kontribusi terhadap kualitas kinerja pada sesorang, yaitu
respon awal sebagai dasar dari respon yang akan dilakukan selanjutnya.
2.
Spector
Locus of Control
menurut Spector didefinisikan sebagai
cerminan dari sebuah kecenderungan seorang individu untuk percaya bahwa dia
mengendalikan peristiwa yang terjadinya dalam hidupnya (internal) atau kendali
atas peristiwa yang terjadi dalam hidupnya itu berasal dari hal lain
(eksternal)
3.
Robbins
Locus of Control
menurut Robbins adalah tingkat dimana
individu yakin bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri. Faktor
internal adalah individu yang yakin bahwa mereka merupakan pemegang kendali
atas apa pun yang terjadi pada diri mereka, sedangkan faktor eksternal adalah
individu yang yakin bahwa apapun yang terjadi pada diri mereka dikendalikan
oleh kekuatan luar seperti keberuntungan dan kesempatan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa individu yang
mempunyai external Locus of Control
diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan harapannya untuk bergantung pada
orang lain dan lebih banyak mencari dan memilih situasi yang menguntungkan.
Sementara itu individu yang mempunyai internal Locus of Control diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan
harapannya pada diri sendiri dan diidentifikasikan juga lebih menyenangi
keahlian-keahlian dibanding hanya situasi yang menguntungkan.
Locus of Control
adalah sebagai tingkat dimana individu yakin bahwa mereka adalah penentu nasib
mereka sendiri. Internal adalah individu yang yakin bahwa mereka merupakan
pemegang kendali atas apa-apa pun yang terjadi pada diri mereka, sedangkan
eksternal adalah individu yang yakin bahwa apapun yang terjadi pada diri mereka
dikendalikan oleh kekuatan luar seperti keberuntungan dan kesempatan.
Rotter (1975)
menyatakan bahwa internal dan eksternal mewakili dua ujung kontinum, bukan
secara terpisah. Internal cenderung menyatakan bahwa sebuah peristiwa berada
pada control mereka sendiri, sementara eksternal lebih cenderung menyalahkan
factor luar yang mempengaruhi suatu kejadian yang menimpa mereka. Contoh
sederhananya adalah seorang karyawan dalam memandang karirnya di sebuah
perusahaan. Jika ia memiliki internal Locus
of Control maka dia akan menyatakan kegagalannya meraih suatu jabatan lebih
dikarenakan dirinya sendiri, sementara karyawan yang memiliki eksternal Locus of Control akan menyalahkan
keadaan seperti kurang beruntung, bos yang kurang adil, dst.
Implikasi yang jelas untuk perbedaan antara internal dan
eksternal dalam hal motivasi berprestasi mereka. Lokus internal berkaitan
dengan tingkat lebih tinggi dari N-ach. Karena kendali mereka mencari di luar
dirinya, eksternal cenderung merasa bahwa mereka kurang memiliki kontrol atas
nasib mereka. Orang dengan lokus kontrol eksternal cenderung lebih stres dan rentan
terhadap depresi klinis (Benassi, Sweeney
& Dufour, 1988; dikutip dalam Maltby, Hari & MacAskill, 2007).
2.5.
Penerapan
Teori Atribusi dalam Pembelajaran
Teori atribusi yang dikembangkan oleh Bernard Weiner dalam lingkungan pendidikan
menitik beratkan pada (1) Pengaruh hasil perbuatan berupa keberhasilan dan
kegagalan. (2) Memberikan suatu kerangka kerja
untuk melakukan analisa terhadap interaksi guru dan peserta didik di kelas.
Model pembelajaran langsung dalam teori ini merupakan
model pembelajaran yang sering digunakan oleh sebagian besar Guru. Menurut
Arends (1997), pembelajaran langsung disajikan dalam lima tahap, yaitu:
1.
Penyampaian tujuan pembelajaran
2.
Mendemonstrasikan
pengetahuan dan keterampilan
3.
Pemberian latihan terbimbing
4.
Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik
5.
Pemberian perluasan latihan dan pemindahan ilmu.
Penerapan Teori Atribusi Weiner dalam pembelajaran
langsung dimaksudkan untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada peserta
didik agar mengembangkan lingkungan proaktif yang positif. Dengan kata lain
suasana pembelajaran menjadi berpusat pada peserta didik (student oriented).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan ke beberapa
sekolah, yang sengaja difokuskan pada pembelajaran (materi matematika). Sementara
hasil observasi menunjukan proses pembelajaran umumnya masih didominasi oleh
guru, sehinga komunikasi antara guru dengan peserta didik belum optimal. Selain
itu, dalam menanggapi hasil pekerjaan siswa, guru hanya menyatakan benar atau
salah tanpa menanyakan alas an dan penyebab jawaban siswa. Kebiasaan inilah
yang dapat mengakibatkan ketuntasan belajar dan pencapaian hasil belajar
peserta didik tidak mencapai tujuan yang diharapkan.
Untuk mengatasi masalah diatas, Soedjadi (1998/1999)
mengatakan perlunya diupayakan pembelajaran yang memberi kesempatan luas pada
peserta didik untuk aktif belajar dengan merubah pola pembelajaran yang semula
berpusat pada guru ( teacher oriented ) hendaknya berubah menjadi terpusat pada
peserta didik (student oriented). Dalam hal ini, dipilih sebuah alternative
pola pembelajaran yang dapat mengaktifkan peserta didik dan meningkatkan
komunikasi antara guru dan peserta didik, dengan menerapkan teori atribusi dari
Bernard Weiner.
Ada 3 langkah penerapan teori atribusi dalam pembelajaran
terdiri dari :
1.
Membangun konsep
2.
Menanggapi hasil kerja peserta didik
3.
Memantapkan pemahaman konsep
Terdapat 3 faktor yang dapat ditemukan di kelas, yang
mendukung perlunya teori Weiner,
yaitu:
o Tingkah
laku guru yang berlainan yang ditujukan kepada peserta didik yang diyakini tak
akan bisa berhasil
o Penggunaan
pujian dan celaan yang berbeda-beda di kelas
o Ciri
siswa/peserta didik
Tingkah laku guru terhadap peserta didik yang rendah
prestasi belajarnya tentu mendapat bimbingan yang berbada dengan peserta didik
yang lain. Contohnya ialah, mendudukkan peserta didik yang berprestasi rendah
jauh dari guru dan atau didalam kelompok, menuntut kerja dan usaha yang semula
jauh dari perhatian guru dikarenakan kurangnya kesempatan untuk menjawab
pertanyaan ataupun bertanya.
Sementara penggunaan pujian dan celaan yang berbeda,
dimaksudkan kedalam bentuk pemberian reward dan punishman yang berkaitan dengan
bentuk penugasan. Pujian secara khas diberikan untuk usaha yang membuahkan
hasil baik. Dalam sebuah penelitian, peserta didik yang mendapat pujian karena
sukses ternyata kemampuannya dinilai lebih rendah daripada peserta didik yang
menerima celaan.
Adapun pada ciri peserta didik, terdapat tiga ciri yang
berfungsi di dalam kelas terkait mengenai keberhasilan atau kegagakan peserta
didik. Ketiga ciri tersebut adalah tingkat perkembangan, rasa harga didi
peserta didik dan jenis kelamin.
Hal yang perlu diperhatikan pada teori Weiner dalam pembelajaran yang
terkait dengan keberhasilan dan kegagalan peserta didik, lebih menekankan pada
unsure kesiapan peserta didik untuk menerima materi pelajaran, dan didukung
oleh serangkain motivasi belajar peserta didik dengan memandang pada iklim
kelas yang lebih menekankan pada proses belajar dari pada hasil belajar yang
kompetitif.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Dari pembahasan
diatas, dapat disimpulkan antara lain:
1.
Teori
atribusi bermula dengan gagasan Fritz Heider bahwa setiap individu mencoba
untuk memahami perilaku mereka sendiri dan orang lain dengan mengamati
bagaimana sesungguhnya setiap individu berperilaku. Teori Atribusi Weiner lebih menekankan pada upaya
untuk memahami penyebab di balik perilaku orang lain, dan dalam beberapa kasus
juga penyebab di balik perilaku kita sendiri.
2.
Ada tiga teori yang berkaitan erat dengan teori atribusi ini, yakni teori Naïve
Psychology, kedua Correspondent Inference dan ketiga Covariation
Model.
3.
Kesalahan atau bias dalam atribusi, yaitu bias
fundamental atribusi, bias self serving, efek pelaku pengamat, bias self
blame, hidonice relevance, bias egocentris.
4.
Teori atribusi ini sangat tepat digunakan dalam proses pembelajaran karena
dapat membantu guru dalam melatih peserta didik untuk memotivasi agar lebih
aktif dalam belajar, karena memang menekankan pada kemampuan berkomunikasi.
3.2.
Saran
Penulis
menyadari bahwa pembahasan dalam makalah ini tidak mencakup banyak
bidang yang lebih mendalam. Oleh karena itu, diperlukan pembahasan yang lebih
komperhensif mengenai teori atribusi dalam
pembelajaran.
DAFTAR
PUSTAKA
Wirawan,Sarlito . 2005. Teori –
Teori psikologi sosial. Jakarta : Rajawali Pers.
Hanurawan, Fattah. 2015. Psikologi
Sosial. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Joko Winarto. 2011. Teori
Atribusi Berner Weiner dan Implementasinya dalam Pembelajaran.
Mara Suzana. 2010. Teori Atribusi
Berner Weiner dan Implementasinya dalam Pembelajaran.
Sugiyo. 2005. Komunikasi Antar
Pribadi. Semarang: Universitas Negeri Semarang
Kelly, J.D., 1977. Canine
Parasitology. University of Sydney: Sydney.
Heider, Fritz. 1958. The
psychology of Interpersonal Relations. New York: Wiley.
Arends, R. (1997). Classroom
Instructional and Management. New York: McGraw Hill Comapanies.
Komentar
Posting Komentar